Kata
Pengantar
Dengan
memanjat Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mana atas berkat
dan bimbingannya penulis dapat menyelesaikan materi mengajar ini tepat pada
waktunya.
Dalam
penyusunan materi mengajar ini, penulis menyusun sesuai dengan kaidah yang
berlaku di Fakultas danmendapat amanah menjadi Dosen pengasuh mata kuliah
Sosiologi Politik.
Keberadaan
Modul/Materi ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan melengkapi
materi kuliah Sosiologi Politik pada mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ekonomi,
Jurusan Manajemen Administrasi Publik
Dalam
penyusunan Modul ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurna,
terutama dalam menggali, mengungkapkan dan menguraikan hal-hal yang penulis
kemukakan serta sebagai bahan informasi kepustakaan, namun dengan tekad dan
rasa ingin tahu dalam pengembangan ilmu pengetahuan maka penulis dapat
menyelesaikannya.
Penulis
Frans
Belarmono D.S Menezes SE; M.Si
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar..........i
Daftar Isi..........ii
BAGIAN I Hakekat dan Konsep
Sosiologi Politik..........1
a.
Pengertian Sosiologi Politik..........1
b. Konsep Sosiologi Politik Kuno berdasarkan Budaya
Loro Sae sebagai..........5
c. Ilmu Negara dan sebagai llmu Tentang Kekuasaan..........7
d. Skema Konseptual..........17
BAGIAN II Budaya Politik..........20
a.
Jabatan-jabatan Politik dan
Administrasi..........
b.
Rekrutmen Politik..........
BAGIAN III Tipe-Tipe Budaya Politik..........33
a. Budaya Politik Parokial..........34
b.
Budaya Politik Subjek..........36
c.
Budaya Politik Partisipan..........37
BAGIAN IV Partisipasi Politik..........44
a. Pengertian..........45
b.
Bentuk-bentuk Partisipasi Politik..........49
c.
Fungsi Partisipasi Politik..........50
d. Faktor-faktor Yang Berpengaruh..........56
e.
Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangunan Indonesia..........62
BAGIAN V Rekrutmen Politik..........70
a.
Jabatan-jabatan Politik dan
Administrasi..........72
b.
Bentuk-bentuk Rekrutmen Politik..........78
c.
Rekrutmen Politik dalam Sistem
Politik Indonesia..........80
Miriam
Budiardjo. (1994). Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar
Harapan
Mochtar Mas'oed
dan MacAndrews,Colin.Perbandingan Sistem Politik. Penerbit Gadjah Mada
University Press. cetakan ke-16, Yogyakarta, December 2001
Mohtar Mas'oed.
(1985). Efektivitas dan Tanggung Jawab pada Oetojo Oesman & Alfian. (1991)
Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Masyarakat Berbagsa
dan Bernegara. Jakarta: BP7 Pusat
Phil Astrid S.
Susanto. (1979). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta
Bottomore,
Tom. Sosiologi Politik. diterjemahkan oleh Sahat Sitomora. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 1992.
Darji
Darmodiharjo. (1982). Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta
Duverger,
Maurice. (1981). Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali
Frederickson,
George. (1984). Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES
Geertz,
Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books
Huntington,
Samuel P dan Nelson, John. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Penerbit:
Rineka Cipta. Jakarta, 1980
Huntington,
Samuel P. & Nelson, John. (1980). Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta: Rineka Cipta
Ichlasul
Anial dan Armaidy Armawi. Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional.
Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, cetakan ke-1, Juli 1996.
J.
Soedjati DjiNvandono dan T. A Legowo.Revitalisasi Sistem Politik Indonesia,
Penerbit CSIS. Jakarta
Keller, Suzanne.
(1984). Penguasa dan Kelompok Elit. (Alih Bahasa: Zahara D. Noer). Jakarta: CV.
Rajawali
Koetjaraningrat.
(1965). Pengantar 4niropologi. Jakarta: Penerbit Universitas
B. Ilmu
Negara dan sebagai llmu Tentang Kekuasaan
Konsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasi yang
biasa, yaitu yang berhubungan dengan "negara". Kata negara di sini
dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia
atau masyarakat. Pertama negara bangsa (nation
state) dan kedua negara pemerintah (government state). Negara bangsa
menunjukkan masyarakat nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman
pertengahan dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh
berintegrasi. Negara pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dari
masyarakat nasional ini.
Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara berarti
menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat
dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam pengertian
ini berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi agama, sosiologi
etnik atau kelompok minoritas.
Konsep yang diuraikan di atas merupakan konsep tua dari
sosiologi politik. Konsep lain yang lebih modern menganggap bahwa dari
sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas,
komando, di dalam semua, masyarakat manusia bukan saja di dalam masyarakat
nasional. Konsepsi ini berasal dari Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang
dinamakan perbedaaan anatara yang memerintah (goverments) dan yang
diperintah (gouvemes) (Duverger, 1989: 19). Dia percaya bahwa dalam
setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang
sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka
yang diperintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya,
mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut.
Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap
masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam
klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama, yaitu suatu yang didasarkan
bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena yang
ada dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam pengertian
ini berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi ekonomi, sosiologi kesenian,
sosiologi agama dan lain sebagainya. Dari sudut pandang ini sosiologi politik
diartikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat".
Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah kekuasaan dalam masyarakat yang bagaimana
yang menjadi cakupan
Alfian. Masalah
dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Allasyarakat :
Dilemma Birokrasi? dalam Mochtar Mas'oed & Colin Mc
Almond &
Verba. (1966). The Civic Culture. Little Brown. Boston Mass
Almond, Gabriel
& Powel, Bingham. (1966). Comparative Politics Development Approach.
Bombay, India: Little Brown Company
Aminudin
Siregar. (1985). Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial. Akademika Pressindo
Anderson,
Benedict. (1972). The Idea of Power in Javanese Society in Claire Holt.
Benedict Anderson, James T. Siegel (Ed). Culture and Politics in Indonesia.
Ithaca, New York: Cornell University Press
Andrews (Ed).
Perbandingan Sistem Politik. Edisi Revisi, cetakan ke-8.
DAFTAR REFERENSI
----------------------(1960).
The Religion ofJava. (Glencoe,
Illinois: The Free Press)
----------------------(1988).
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
-------------------(1989b).
The State Reorganization of Society Under
The New Order. Prising no.47
----------------------
(1994a) Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
----------------------
(1994b). Negara, Kapital dan Demoki-asi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
----------------------.(1989a).
Ek-onomi dan Struktur Politik Orde Baru, 19661971. Jakarta: LP3ES
----------------------.(1990).
Language and Power; Exploring Political Structures in Indonesia. Ithaca, New
York: Cornell University
A.Muis. Titian
Jalan Detnokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik.
Penerbit Harian Kompas. Jakarta. 2000
Affan Gaffar.
(2002Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alfian
& Nazarudin Syamsudin (1991). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT.
Temprint
sosiologi
politik. Apa dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat
tertentu? Menjawab pertanyaan ini Duverger memberikan dua penjelasan.
Penjelasan pertama dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok
sosial dan kedua dilihat dari hakikat ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Menurut
Duverger (1989) dilihat dari ukuran (size) dan kompleksitasnya ada dua kelompok
masyarakat, yaitu kelompok elementer atau kelompok kecil dan kelompok kompleks.
Kekuasaan dalam kelompok yang lebih besar inilah yang ada sangkut-pautnya
dengan sosiologi politik, sedangkan pada kelompok-kelompok yang kecil menjadi
wilayah kajian psikologi sosial. Namun demikian, pembedaan secara demikian
dianggap kurang akurat. Karena teramat sulit membedakan antara
kelompok-kelompok elementer dan kelompok-kelompok kompleks. Karena pada
kelompok-kelompok elementer pun terdapat kompleksitas tersendiri. Dalam
kelompok sekecil apa pun menurut Duverger menunjukkan adanya proses
diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi, dan groups yang
melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan. Berdasarkan ukuran (size) ini,
maka kajian sosiologi politik mencakup "makropolitik" yang berada
dalam komunitas-kominitas yang besar dan "mikropolitik" yang berada
pada kelompok-kelompok kecil.
Sementara itu dilihat dari ikatan-ikatan organisasi torisnya,
masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat "swasta" dan masyarakat
"universal".
«
Masyarakat swasta adalah "kelompok-kelompok dengan
kepentingan-kepentingan khusus dan rasa solidaritas terbatas yang masing-masing
kelompok sesuai dengan kategori tertentu dari aktivias manusia". Termasuk
dalam kategori masyarakat ini, misalnya serikat buruh, organisasi olahraga,
organisasi kesenian, perusahaan komersial, organisasi-organisasi profesi dan
organisasi-organisasi sosial lainnya. Masyarakat universal adalah masyarakat
yang meliputi dan melebihi semua masyarakat-masyarakat swasta ini.
«
Masyarakat
universal adalah "masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak
hanya didasarkan pada kegiatan atau aktivitas tertentu saja". Tetapi juga,
rasa solidaritas lebih besar, lebih dalam, lebih mesra daripada
masyarakat-masyarakat swasta. Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat
universal merupakan objek analisa sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam
masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam masyarakat
swasta, otoritas atau
Karena peraturan
yang ada, kedua partai tersebut masih bersyukur jika dapat memegang jabatan
wakil kedua dalam lembaga perwakilan rakyat seperti MPR, DPR, DPRD Tingkat I,
dan DPRD Tingkat II. Sekalipun di beberapa daerah pemilihan, kedua partai
tersebut mampu menjadi pemenang dengan memperoleh suara mayoritas, hal im tidak
membawa konsekuensi bahwa partai tersebut akan memegang jabatan eksekutif.
Bagaimana Dengan Rekrutmen Politik dalam
Sistem Politik Loro-Sae?.
Diskusi Kelas
..................................
Salah satu persyaratan yang tidak tertulis dalam proses
rekrutmen politik di Indonesia adalah bahwa mereka yang akan direkrut untuk
mengisi jabatan (seperti Rektor, Dekan, ketua partai dan lain sebagainya)
adalah orang-orang yang harus dapat bekerjasama dengan pemerintah atau orang
yang mampu mengakomodasikan kehendak pemerintah. Mengapa demikian? Dalam
mekanisme politik di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir ini, kita tidak
dapat menyangkal bahwa konflik harus diletakkan dalam tingkat yang sangat minimal,
karena konflik selalu mengandung konotasi yang negatif, seperti menghambat
pembangunan atua merusak stabilitas nasional. Dalam sistem politik yang
demokratis, konflik merupakan suatu yang dimungkinkan karena adanya perbedaan
kepentingan serta sistem nilai.
Tingkat
kompetisi dalam mengisi jabatan yang ada boleh clikatakan masih cukup rendah
karena mekansimenya yang kurang terbuka. Salah satu fungsi partai politik yang
berkaitan dengan salah rekrutmen. Akan tetapi di Indonesia fungsi tersebut
masih rendah kadar pelaksanaannya. Partai-partai politik seperti PPP dan PDI
tidak akan bermimpi untuk berebut jabatan-jabatan seperti gubernur, bupati dan
walikota. Kedua partai tersebut paling "banter" hanya
menyediakan calon pendamping saja.
«
kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat teknis tidak
mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu dalam hubungan dengan
yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari kekuasaan.
Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti
populer dari "politik". Misalnya, jika kita membicarakan
pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam
masyarakat universal. Namun, jika dikaji secara mendalam perbedaan antara
masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi
definisi sosiologi politik.
※
Pertama, pembedaan tersebut samarsamar sifatnya. Misalnya,
apakah keluarga merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Demikian
juga apakah masyarakat agama merupakan masyarakat universal atau masyarakat
swasta? Bagi kepala keluarga, keluarga dipandang sebagai masyarakat universal.
Begitu juga bagi pemimpin agama, masyarakat agama merupakan masyarakat
universal. Namun, bagi yang lain tentu belum tentu dipandang demikian.
※
Kedua, ada dua paham mengenai masyarakat universal. Paham
pertama, didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging) rasa
kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan
anusia. Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni
menganggap masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara
bangsa). Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku, dan lainnya. Jika paham
kedua yang dipakai, maka akibatnya akan terjebak pada teori yang menyamakan
sosiologi politik dengan negara.
Masyarakat mana yang menjadi kajian sosiologi politik? Apakah
masyarakat universal? Menurut Duverger, hal tersebut sulit diterima, jika sosiologi
politik didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam masyarakat
universal" tidak lebih baik daripada didefinisikan sebagai "ilmu
tentang kekuasaan di dalam negara". Karena seringkali kedua ungkapan
tersebut dianggap sinonim oleh yang mempergunakannya.
Agar
dapat keluar dari kesulitan itu, Duverger menyarankan lebih baik melihatnya
dari segi "hubungan-hubungan otoritas" (authority relationship) yang
berjenis-jenis di dalam semua masyarakat baik itu kecil atau besar, sederhana
Konsep
Sosiologi Politik Rekrutmen Politik dalam Sistem Politik Loro sae
Piramida Terbalik
Piramida Normal
.
didasarkan
pada kualitas yang dimiliki calon. Bentuk atau metode ini digunakan di Inggris
dan Wales.
C. Rekrutmen Politik dalam Sistem Politik Indonesia
Rekrutmen politik yang ada di Indoensia yaitu bisa dilihat
dari pengalaman yang ada selama perjalanan bangsa ini. Tampaknya mekanisme yang
terbuka bahkan semi terbuka masih merupakan sesuatu yang perlu dipikirkan.
Dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia, misainya Lembaga Pemilihan Umum
memainkan peranan yang cukup besar dalam menyaring orang-orang untuk dijadikan
calon. Bisa saja calon-calon yang sudah disiapkan oleh partai politik tidak
dapat di setujui oleh LPU karena orang-orang tersebut mempunyai latar belakang
yang tidak mengenakkan dalam kehidupan politik di tanah air. Misalnya, mereka
yang pernah menjadi aktivis partai Masyumi atau mereka yang menjadi organisasi
massy yang di blacklist pemerintah atau mereka adalah orangorang yang
dikategorikan berseberangan dengan pemeirntah atau mereka yang dianggap tidak
setia terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
Tampaknya
seseorang yang sudah memiliki cacat politik dari kaca mata pemerintah akan
sulit merehabilitasi dirinya.
atau kompleks,
swasta atau universal. Hubungan otoritas yang dimaksudkan adalah setiap
hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau beberapa individu menguasai
yang lain dan mengarahkannya menurut kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan
manusia memang demikian. Dalam kenyataannya, sangat sedikit yang benar-benar egalitarian
(sama sederajat).
Persoalannya
sekarang adalah hubungan otoritas yang bagaimana yang melibatkan
"kekuasaan" dalam arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini,
Duverger membedakan hubungan-hubungan yang bersifat luas yakni hubungan yang
bersifat "institusional" dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat
"personal". Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas
seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas yang berarti
adanya dominasi beberapa orang terhadap yang lainnya. la bukan
hubungan-hubungan yang sederhana yang tidak sama dan tidak memiliki sifat
institusional dan tidak berasal dari institusi.
Ada dua
kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang bersifat sempit.
※
Pertama, yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan
keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat sempit adalah hubungan manusia
yang tidak terikat kepada model-model yang sudah ada terdahulu, biasanya
berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak stabil. Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang
berlaku sebagai pola hubungan yang kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama
dan kohesif. Model-model institusional relatif sama dengan pengertian
"struktur" dalam sosiologi modern.
※
Struktur adalah
sistem hubungan-hubungan yang tidak akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan
keasliannya ditentukan oleh hubungannya dengan model struktural. Dalam arti
ini, maka parlemen, menteri-menteri kabinet, kepala-kepala negara dan pemilihan
umum adalah institusi.
Atas
dasar keyakinan manusia kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan oleh mereka yang
menaatinya dan mereka yang menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan
hanya fenomena fisik sebuah dominasi, melainkan juga fenomena psikologis. Dalam
hal ini, masalah "legitimasi" (keabsahan) menjadi penting. Kekuasaan
selalu dianggap sebagai sesuatu yang "legitimate" (sah untuk
diterima) sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita
berikutnya.
Demikian juga di Amerika Serikat, seorang presiden hanya boleh memangku jabatan
selama dua periode.
Bentuk perekrutan yang lain adalah dengan perebutan kekuasaan
dengan jalan menggunakan kekerasan. Penggulingan suatu rezim politik apakah itu
dengan coup d etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan
atau kerusuhan rakyat.
Selain dari bentuk perekrutan yang biasanya diasosiasikan
dengan perubahan personil yang ekstensif terdpat juga cara lain yang
diasosiasikan dengan perekrutan yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Patronage
yaitu bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit. Sistem ini
merupakan metode yang cukup mapan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekausaan
politik melalui pengontrolan terhadap hasil-hasil dari Pemilu. Karena sisetm
ini mengutamakan pembelian di mans orang-orang diubjuk dengan hadiah-hadiah tertentu,
maka sistem ini tidak selalu menjamin pengrekrutan pemegang jabatanjabatan yang
cocok balk secara politik maupun diukur dari kemampuannya.
Suatu bentuk lain adalah "Ko-opsi" (co-option),
yaitu pemilihan anggota-anggota barn atau pemilihan seorang ke dalam suatu
badan oleh anggota-anggota yang ada. Pemilihan ini
※
Kepekaan hati
Terpanggil
oleh hati nuraninya dan rasa tanggung jawab.
※
Keberanian
Harus
berani menanggung resiko dan tidak menyerah pada perasaan.
※
Kemampuan memukau
Kualitas
melalui gays pidato, pemunculan yang tepat.
※
Kepandaian
B. Bentuk-bentuk Rekrutmen Politik
Dua cara
khusus dalam sistem perekrutan politik yaitu: seleksi pemilihan melalui ujian
khusus serta latihan. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman
dan banyak diantaranya memunyai implikasi penting bagi perekrutan politik.
Salah satu bentuk yang paling tertua dalam perekrutan politik adalah dengan
penyortiran atau penarikan undian. Cara ini dibuat untuk mencegah dominasi
jabatan dan posisiposisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu tertentu.
Suatu bentuk yang hampir sama disebtu rotasi yaitu pergiliran.'Presiden dan
Wakil Presiden Dewan Federal Swiss memangku jabatan selama setahun dan tidak
boleh langsung dipilih untuk masa jabatan
menerima
kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar bila kita menaatinya. Kekuasaan
ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat demikian, karena kita percaya
bahwa kekuasaan "sah" adanya untuk ditaati. Jadi, keabsahan ini yang
membedakan kekuasaan dari sekedar hubungan otoritas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat memberikan argumentasi
bahwa sosiologi politik adalah "ilmu tentang
kekuasaan dalam setiap kelompok manusia atau masyarakat". Secara
lebih tegas, Duverger menganggap sosiologi politik sama dengan ilmu politik
hampir tidak ada bedanya. Hal ini didasarkan pemahaman bahwa sosiologi sama
dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu politik adalah salah satu bidang dari
ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik dianggap seagai salah satu cabang dari
sosiologi. Oleh karena itu, menurut Duverger yang juga mendapat pengakuan di
Perancis, sosiologi politik sama dengan ilmu politik yakni sama-sama mengkaji
kekuasaan dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat sosiologis tersebut, tentu
ditolak oleh para ahli politik. Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak
sependapat dengan pemikiran bahwa sosiologi politik adalah cabang dari
sosiologi dan dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya mengakui bahwa ada
studi-studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx Webwer,
Mosca, dan Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan
Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata rantai
antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan
struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku
politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan
metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybrid
inter-dicipliner.
Bila
disimak lebih mendalam, maka posisi sosiologi politik sebagaimana diungkapkan
oleh Duverger di atas, tampaknya lebih tepat jika diterapkan pada program sudi
Ilmu Sosiologi. Sementara pemikiran Rush dan Althoff sangat tepat diterapkan
pada program studi ilmu politik. Untu kepentingan pembelajaran pada program
studi PPKn, maka pendapat Rush dan Althoff, secara substantial tampaknya lebih
cocok menjadi acuan mata kuliah ini. Artinya, hakikat sosiologi politik dalam
mata kuliah ini dipandang sebagai "suatu kajian yang menyajikan
konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep ilmu politik serta mengkaji
masalah-masalah politik yang ditinjau secara sosiologis".
ideal seorang
pemimpin, yaitu:
※
Kesadaran
Seorang
pemimpin harus dapat menguasai fakta-fakta yakni pengetahuan yang diperlukan
agar dapat menjalankan jabatannya.
※
Kebulatan pandangan
Seorang
pemimpin harus mampu menghubungkan berbagai cabang pengetahuan yang penting bagi
kedudukannya.
※
Ketetapan jiwa
Seorang
pemimpin harus memiliki emosi dan sikap, yang dapat menguasai setiap persoalan
bila dibutuhkan dan menggunakan pikirannya secara tepat dalam setiap
permasalahan.
※
Keyakinan
Seorang
pemimpin memiliki berbagai ide dan prinsip-prinsip.
※
Kreativitas
Menemukan
hal-hal yang barn dan menerapkan dalam kebijaksanaannya.
Kondisi sosial ekonomi sampai batas-batas tertentu juga
sering menjadi bahan pertimbangan untuk mendukung segala kegiatan seorang
pemimpin yang terkadang harus berkorban secara pribadi, walaupun banyak juga
terjadi sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan dapat mengerti dan
menghayati aspirasi serta kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan
pemenuhan berbagai persyaratan tersebut, seorang pemimpin benar-benar dapat
diterima oleh masyarakat dan pada gilirannya akan mampu menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam segala program yang dilaksanakan. Seorang pemimpin sebagai
pendukung peran dapat muncul karena semata-mata sebagai pimpinan alam dan yang
dibina serta dikembangkan oleh sebuah sistem tertentu. Tetapi seorang pemimpin
yang balk dan berwibawa dipengaruhi oleh dua unsur tali, yaitu unsur bawaan dan
unsur binaan. Kharisma pemimpin memancarkan suatu wibawa.
Wibawa yang ada padanya akan membawakan perasaan tertentu
pada orang yang dipimpin, yaitu segan dan bukan takut.
Dalam hubungan dengan kepemimpinan ini, Finer (Sastroatmodjo,
1995: 122-123) menyebutkan beberapa sifat
D. Skema Konseptual
Sosiologi politik didefinisikan sebagai subjek area (bidang
subjek) beberapa orang lain menamakan mata rantai antar politik dan masyarakat,
antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara
tingkah laku sosial dan tingkah laku politik dengan melihat sosiologi politik
merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu
politik, atau yang oleh Sartori disebut hybird inter-dicipliner.
Skema konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep, yaitu;
sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik dan
komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent, bergantung satu
sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai
berikut:
※
Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana
seseorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat
persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksinya terhadap gejaiagejala
politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkugan kultural,
lingkungan politik dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang
bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap
politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di
antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem
bisa berbeda sekali dengan sistem lainnya.
※
Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada
bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu bisa
bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai dengan aktivitas jabatannya. Oleh
karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat
khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep-konsep mengenai apa
itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan
keterlibatan mereka yang terbatas.
※
Perekrutan
politik adalah proses dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan
diri untuk menduduki suatu jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah
dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena
individuindividunya mungkin mampu mendapatkan
paling jelas
dalam sistem politik totaliter, di mans doktrin dari suatu birokrasi politik
yang netral tidak hanya diharamkan, akan tetapi juga merupakan kontradiksi. Hal
ini tidak menutup pergantian personil, terutama sebagai akibat pembersihan akan
tetapi dalam sistem totaliter jelas tidak terhadap alternatif untuk
menggantikan jabatan.
Yang
jelas fungsi perekrutan politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk
kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media
komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan terentu
dan sebagainya. Fungsi rekrutmen politik ini dapat juga disebut fungsi seleksi
kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan
secara berencana dan teratur sesuai dengan, kaidah atau norms-norms yang ads serta
harapan masyarakat. Beberapa persyaratan diperlukan untuk menduduki jabatan
pimpinan balk persyaratan fisik, mental spiritual, serta aspek intelektual.
Seorang pemimpin diharapkan dapat memberikan keteladanan kepada orang-orang
yang dipimpin mengembangkan semangat untuk berusaha mencapai kemajuan, serta
mampu memberikan pengarahan kepada orang-orang yang dipimpinnya.
berusaha
memisahkan jabatan politik dan birokrtasi dengan melembagakakn satu doktrin
netralitas poitik dari para administrator. Misalnya di Inggris, pegwai-pegwai
sipil direkrut melalui badan organisasi poliitk yang netral dan sekali
diangkat, dengan menghindarkan tingkatan kegiatan politik yang lebih tinggi dan
dengan mengabdi secara tidak memihak kepada setiap pemerintahan. Jadi pemerintahan
bisa beranti-ganti, partai-partai yang berbeda dapat memegang kekuasaan
politik, akan tetapi para pegawai sipil tetap berada dalam posnya. Sistem ini
berbeda dengan di Amerika Serikat, di sans partai yang berkuasa mengadakan
perubahan personil secara ekstensif pda eselon yang lebih tinggi dari dings
sipil pada awal pemerintahan barn.
Sistem
ini mneliputi perluasan pengawasan partai secara langsung terhadap jabatan
politik administratif. Fenomena ini sebagian besar didasarkan pada ekyakinan,
bahwa kontrol langsung terhadap jabatanjabatan administratif itu perlu.
Sebagian disebabkan oleh keyakinan historic bahwa pergantian personil
sedemikian secara admninistratif menguntungkan, dan sebagian lagi karena adanya
adanya tradisi bahwa jabatan administratif merupakan sarana absah untuk
memberikan rasa kesetiaan kepada partai. Namun hubungan erat antara partai yang
berkuasa dengan pars pemegang jabatan administratif itu terlihat
kesempatan
atau mungkin didekati oleh orang lain dan kemudian bida menjabat posisi-posisi
tertentu.
※
Komunikasi politik ialah proses dimana informasi plitik yang
relevan diteruskan dari sauatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan
diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Kejadian tersebut
merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di
antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat
masyarakat.
BAGIAN II
BUDAYA
POLITIK
Istilah
budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang
merupakan bentuk jamak dari "buddhi" yang berarti budi atau
akal. Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan
dengan budi atau akal". Dalam bahasa asing kita sering menjumpai istilah
culture yang artinya sama dengan budaya atau kebudayaan. Culture berasal
dari bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu
mengolah tanah atau bertani. Berasal dari arti tersebut, colore kemudian
culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.
Menurut
E.B. Taylor (1971) kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup segala
sesuatu yang didapatkan atua dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Berdasarkan batasan ini, berarti kebudayaan terdiri atas segala
sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang
Dengan demikian secara gars besar ada dua jenis jabatan yang
harus diisi oleh orang-orang yang telah memenuhi syarat melalui rekrutmen
politik, yaitu jabatan politis dan jabatna birokrasi. Pembahasan terhadap kedua
jenis jabatan ini cukup menarik dan penitng dari sudut panang sosiologi
poliitk. Hal ini dikarenakan antara satu sistem politik di suatu negara dengan
sistem politik di negara lainnya bisa berbeda dalam memandang hubungan antara
jabatan politis dengan jabatan administrasi. Sehingga hal ini mengaburkan
proses rekrutmen politik dalam mengisi jabatan-jabatan tersebut apakah untuk
jabatan politis atau jabatan administrasi. Kekakburan ini disebabkan oleh
ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan jabatan politis dengan jabatan
administrasi. Misalnya, perekrutan politik pada negara-negara atau masyarakat
totaliter, seperti di Uni Sovyet, Eropa Timur, Republik Rakyat Cina menjadi
kabur, karena pembedan yang tidak jelas antara jabatan-jabatan politis dengan
administrasi (birokrasi). Demikian pula dalam masyarakat di daerah, perbedaan
antara politik dan administrasi tampaknya kurang berarti.
Bila
kita cermati lebih jauh, ternyata hubungan antara para politisi dan para
pelaksana administrasi (birokrasi) dalam sejumlah sistem politik mempunyai
perbedaan. Ada yang
kompetisi
tersebut. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat
atau yang dikenal sebagai platform
politiknya
serta nilai moral yang melekat dalam dirinya, termasuk integritasnya.
Sebaliknya dalam sistem rekrutmen yang tertuutp kesempatan tersebut hanyalah
dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas
serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali
oleh sekelompok kecil elite itu sendiri.
A. Jabatan-jabatan Politik dan Administrasi
Telah
disebutkan di atas, bahwa rekrutmen politik adalah proses pengisian
jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan
administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan
politik. Jabatan-jabatan itu misalnya adalah Perdana Menteri atau Presiders,
anggota pemerintah atau gubernur negara bagian, anggota dewan kotapraja
setempat atau walikota, anggota dalam birokrasi nasional atau birokrasi lokal
dan pegawai negeri sipil, administrator negara bagian atau pejabat pemerintah
lokal. Di camping jabatan-jabatan itu bisa saja meluas sampai pada personil
partai yang tengah berkuasa dan hirarki pemerintah dalam masyarakat totaliter.
normative atau mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir,
merasakan (bersikap) dan bertindak.
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi memberi batasan kebudayaan sebagai semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk mengolah alam, agar hasilnya dapat dimanfaatkan
untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia,
mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk
mengatur dan menjadi peodman kehidupan masyarakat dalam arti lugs. Sedangkan
cipta adalah kemampuan mental, kemampuan berpikir manusia sebagai anggota
masyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang dimaksud balk yang berwujud teori murni maupun yang bersfiat
terapan. Rasa dan cipta menghasilkan kebudayaan rohaniyah (immaterial
culture). Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang
menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau
seluruh masyarakat.
Menganalisa
lebih lanjut pemikiran di atas, Soerjono Soekamto menyatakan bahwa sesungguhnya
manusia sebagai individu mempunyai segi material dan spiritual dalam
kehdupannya. Segi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk
menghasilkan benda-benda atua lainnya yang berwujud benda. Segi spiritual
manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang
menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa
yang menghasilkan keindahan dan kesenian. Manusia berusaha mendapatkan ilmu
pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku dengan kaidah-kaidah melalui
etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Semua ini merupakan kebudayaan.
Kebudayaan
dimiliki oleh setiap masyarakat manusia di dunia. Perbedaannya terletak pada
tingkatan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu masing-masing. Ada yang
memiliki tingkat kebudayaan yang masih rendah dan ada masyarakat yang sudah
memiliki kebudayaan yang lebih maju.
Dilihat
dari sudut struktur dan tingkatan, di dalam masyarakat yang besar atau bangsa
dikenal adanya superculture yang berlaku bagi masyarakat. Suatu superculture
biasanya dapat dijabarkan ke dalam cultures yang didasarkan pada kekhasan
daerah, golongan etnik, profesi dan lain sebagainya. Dalam suatu culture
mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan
dengan kebudayaan "induk", yang lazim disebut subculture.
Namun bila kebudayaan khusus itu bertentangan dengan
suatu sistem politik.
Jika proses rekrutmen politik berjalan dan berhasil dengan baik, maka akan
sangat memungkinkan sistem politik dapat berfungsi dengan baik pula.
Dari
penjelasan ini dapat diketahui, bahwa rekrutmen politik memegang peranan
penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini mennetukan
orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu
melalui lembaga-lembaga politik yang ada. Dalam pada itu, tercapai tidaknya
tujuan suatu sistem politik sangat bergantung pada kualitas rekrutmen politik.
Kualitas ini dapat dilihat dari apakah proses ini dapat menghasilkan
orang-orang yang berkualitas atau tidak dan mendudukkannya pada jabatan yang
sesuai atau tidak. Ini semua sangat begantung pada pola-pola atau mekanisme
rekrutmen yang digunakan.
Dalam
kepustakaan ilmu politik dikenal dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu
rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrutmen yang terbuka semua
warga negara yang memenuhi syarat tertentu (seperti kemampuan, kecakapan, umur,
keadaan fisik dan sebagainya) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki
posisiposisi yang ada dalam lembaga negara/pemeirntah. Suasana kompetisi untuk
mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar
sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenang dalam
BAGIAN V
REKRUTMEN POLITIK
Bahwa,
struktur politik sebagai susunan kekuasaan negara secara kongkrit berisi
lembaga-lembaga politik atau badan-badan politik. Tiap-tiap lembaga atau badan
politik menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu sesuai tugas yang
dimilikinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar lembaga atau
badan politik dapat menjalankan fungsinya maka jabatan-jabatan yang ada dalam
lembaga atau badan tersebut harus diisi oleh orang-orang yang memiliki
kecakapan yang dipersyaratkan. Pengisian jabatan-jabatan tersebut tentu saja
harus melalui mekanisme tertentu yang disebut dengan rekrutmen politik.
Demikianlah keterkaitan antara struktur politik, lembaga politik, dan rekrutmen
politik yang antara satu dengan lainnya mempunyai kaftan yang sangat erat dan
sating mendukung.
Uraian
di atas memberikan pengertian sederhana mengenai rekrutmen politik, yaitu
sebagai proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk
di dalamnya jabatan dalam birokrasi atau administrasi negara/pemerintah dan
partai-partai politik,. Penjelasan di atas jugs memberikan gambaran bahwa
rekrutmen politik merupakan tahap awal untuk dapat berfungsinya
kebudayanaan
induk, maka kebudayaan khusus tersebut disebut counter-culture. Secara visual
struktur tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
Counter-culture
tidak harus selalu diberi arti negatif. Karena, paling tidak
adanya gejala tersebut memberikan petunjuk, bahwa kebudayaan induk kurang dapat
menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan. Untuk itu maka perlu ada upaya
dari pihak penguasa untuk menyesuaikan atau menyerasikan kebudayaan induk
dengan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Dari sinilah
reformasi kebudayaan berlangsung.
Menurut
Yahya Muhaimin (1991), konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada
imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan.
Budaya politik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda-beda.
Karena itu arah perjalanan masyarakat menuju modernitas atau kesempurnaan
hidupnya berbeda-beda pula tergantung derajat budaya politik masing-masing.
Dalam suatu derajat yang tinggi, budaya politik membentuk aspirasi, harapan,
preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan
oleh perubahan sosial politik.
Demikianlah
uraian di atas telah memberikan pengertian kepada kita mengenai budaya atau
kebudayaan, yang pokok pengertiannya diambil dari antropologi. Uraian tersebut
memberikan kesimpulan bahwa secara garis besar kebudayaan meliputi pola pikir,
pola sikap dan pola tindak manusia sebagai anggota masyarakat, atau meliputi
karya, karsa, cipta dan rasa manusia beserta hasil-hasilnya, baik yang bersfiat
material maupun immaterial.
Setelah
anda memahami pengertian pokok mengenai budaya atau kebudayaan, selanjutnya
Anda perlu memahami konsep budaya politik. Apa sesungguhnya budaya politik itu?
Secara
konseptual, Almond dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu
sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam
tujuan
pada dirinya sendiri, kadang-kadang yang mungkin dikejar atas landasan
instrumental, sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain-, dan besar sekali
kemungkinannya isi akan muncul sebagai hasil sampingan sebagai akibat
tercapainya sesuatu tujuan lain.
menjadi
sangat penting, dan identitasnya sebagai bagian dari negara cenderung
mengabaikan loyalitas lainnya. Secara teoritis, loyalitas itu dinyatakan dalam
konsep kewarganegaraan, yang mengabaikan perbedaan kelas sosial dan kelompok
komunal, dan memberikan landasan bagi partisipasi politik secara masal. Semua
warga negara berkeduudkan sama di hadapan negara; semuanya mempunyai
tanggungjawab yang sama pada tingkat minimal tertentu sebagai pars pelaku dalam
negara. Dengan demikian, maka modernisasi sosio –ekonomi mengandung arti adanya
suatu kebudayaan dan pandangan politik yang cukup mengesankan, dan oleh sebab
itu memudahkan partisipasi politik.
Kelompok-kelompok
dan peroangan-perorangan di dalam satu masyarakat yang sedang berkembang juga
tidak mungkin menilai partisipasi politik sebagai tujuan pada dirinya sendiri,
dan akan lebih cenderung untuk lebih dulu menggunakan cara-cara lain yang
mungkin untuk memperbaiki status sosial dan kesejahteraan materi mereka. Akan
tetapi, tercapainya tujuan-tujuan lain itu mungkin sekali mengakibatkan
meningkatanya partisipasi politik dengan demikian, maka pada umumnya
partisipasi politiknya tidak akan dikejar sebagai satu
sistem itu.
Batasan ini memperlihatkan kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara
dan sistem politik serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat
dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula
sikapnya pula terhadap individu di dalam sistem politik. Batasan ini juga
menekankan serangkaian orientasi sikap individu terhadap seperangkat objek dan
proses sosial yang bersifat khusus, dalam hal ini adalah sistem dan proses
politik. Karena itu menurut Almond dan Verba pembicaraan mengenai budaya atau
kebudaya politik persis sama dengan kebudayaan ekonomi dan kebudayaan religius
(keagamaan). Perbedaannya terletak pada objeknya, objek kebudayaan politik
adalah sistem dan proses politik, objek kebudayaan ekonomi adalah sistem dan
proses ekonomi, sedangkan objek kebudayaan religius adalah sistem dan proses
religi.
Menyimak
penjelasan di atas, tampaknya konsepsi budaya politik lebih sempit dan lebih
terfokus pada pengertian budaya secara antropologis, balk domain subjek yang
hanya menekankan pada segi pikiran, perasaan dan sikap manusia atau yang oleh
Almond dan Verba disebut orientasi, maupun objeknya yang berfokus pada sistem
politik dan bagian-bagiannya serta proses politik.
Dikatakan
oleh Almond dan Verba di dalam objek yang berfokus pada sistem politik terdapat
tiga komponen yang salinng menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif dan
evaluatif.
@ Komponen
kognitif: pengetahuan dan kepercayaan pada politik, tokoh-tokoh pemerintahan,
kebijaksanaan yang diambil atau simbol-simbol yang dimiliki dalam sistem
politiknya, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
@ Komponen
afektif: perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang
dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu, peranannya, para.
aktor dan penampilannya. Dalam kaftan ini telah menjadi kesepakatan para ahli
bahwa sikap-sikap yang tumbuh dalam lingkungan keluarga atau lingkungan hidup
seseorang mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perasaan individu.
@ Komponen
evaluatif: keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara
tipikal (khan) melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi
dan perasaan yang memang telah dipunyai seseorang.
Di dalam
realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisahpisah secara tegas. Adanya
perbedaan tingkat pemahaman
perluasan
penting dari fungsi-fungsi pemerintah. Sementara lingkup kegiatan pemerintah
dengan jelas dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologi politik yang dominan
dalam masyarakat, is semakin dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi di
dalam masyarakat itu. Masyarakat-masyarakat industri maju dan yang mempunyai
pemerintahan yang menganut paham ekonomi liberal seringkali mempunyai
perekonomian yang lebih tingkat sosialisasinya dibandingkan dengan
masyarakat-masyarakat agraris yang diperintah orang-orang sosialis yang sudah
mapan. Yang disebut pertama hanya memerlukan lebih banyak promosi, pengaturan
dan retribusi oleh pemerintah. Akan tetapi, semakin tindakan-tindakan
pemerintah mempengaruhi kelompok-kelompok di dalam masyarakat, semakin
kelompok-kelompok akan melihat relevansi pemerintah bagi tujuan-tujuan mereka
sendiri, dan semakin giatlah mereka mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.
@ Kelima.
modernisasi sosio-ekonomi biasanya berlangsung dalam bentuk pembangunan
nasional. Negara merupakan wahana bagi modernisasi sosio ekonomi. Oleh sebab
itu, maka bagi perorangan, hubungannya dengan negara
tuntutan-tuntutannya
terhadap berbagai kelompok lain. Pendek kata, kelompok itu harus memasuki
politik.
@ Ketiga,
perekonomian yang semakin kompleks menyebabkan bertambah banyaknya organisasi
dan perkumpulan dan meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam kelompok‑kelompok itu. Organisasiorganisasi
perusahaan, perkumpulan-perkumpulan petani, serikat buruh, organisasi
komunitas, demikian pula organisasi-organisasi kebudayaan, rekreasi, dan
malahan keagamaan, merupakan ciri-ciri yang lebih menonjol bagi
masyarakat-masyarakat yang lebih maju. Di Indonesia, misalnya, pembangunan
ekonomi telah diikuti oleh peningkatan jumlah perkumpulan-perkumpulan, sedang
rasio penduduk jauh lebih tinggi di propinsi-propinsi yang lebih berkembang.
Kedua kesimpulan itu memberikan petunjuk tentnag adanya suaut korelasi positif
antara pembangunan sosio-ekonomi dan intensitas di bidang perkumpulan.
Keterlibatan dalam organisasi pada umumnya jugs dihubungkan dengan partisipasi
politik.
@ Keempat,
pembangunan ekonomi, untuk sebagian, memerlukan dan untuk sebagian lagi
menghasilkan
tentang
perkembangan masyarakat pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen
tersebut saling berkaitan atau seku rang-ku rang nya saling mempengaruhi. Untuk
dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, seorang warga negara
harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Dan
pengetahuannya itu sudah dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap sistem politik secara
keseluruhan.
Dan
objek orientasi politik dapat digolongkan dalam beberapa objek. Pertama adalah
sistem politik secara umum. Perhatian utama objek ini adalah sistem sebagai
suatu keseluruhan, termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan
alieansi, kognisi dan evaluasi terhadap bangsa apakah besar atau kecil, kuat
atau lemah, serta evaluasi terhadap pemerintahan apakah demokratis,
konstitusional, atau sosialistis.
Kedua
adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi isi dan kualitas,
norms-norms kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri
setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik. Sikap ini berkaitan dengan
rasa percaya dan permusuhan yang biasanya memang terdapat antara warga negara
yang satu dengan warga negara lainnya dalam masyarakat. Dalam kehidupan
sehari-hari rasa percaya dan permusuhan ini Bering diwujudkan dalam bentuk
kualitas politik yang kita temui yaitu kerja sama dan konflik. Rasa percaya
mendorong seseorang atau kelompok bekerja sama dengan orang atau kelompok
orang. Sebaliknya rasa permusuhan mengarahkan seseorang atau suaut kelompok
pada konflik politik. Jadi kerja sama dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan
suatu masyarakat melainkan jugs menjadi ciri budaya politik suatu masyarakat.
Ketiga
bagian-bagian dari sistem politik yang dibedakan atas tiga golongan objek:
1. Peranan atau struktur khusus, seperti badan legislatif,
eksekutif atau birokrasi dan yudikatif.
2. Pemegang jabatan seperti pimpinan monarki, legislator dan
administrator.
3.
Kebijaksanaan, keputusan atau penguatan keputusan, struktur, pemegang jabatan
dan struktur secara timbal batik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau
input politik dan proses administratif atau output politik. Yang dimaksud
proses atau input politik adalah arus tuntutan dari masyarakat terhadap
pemerintah dan proses konversi (mengubah) tuntutan-tuntutan ini menjadi
kebijakan otoritatif. Beberapa struktur (lembaga) yang terlibat secara intens
dalam proses input adalah partai politik, kelompok kepentingan dan media
komunikasi.
lebih
besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih
partisipatif daripada mereka yang miskin, tak berpendidikan dan memiliki
pekerjaan berstatus rendah. Pembangunan ekonomi memperluas proporsi peranan
berstatus lebih tinggi di daiam masyarakat; meningkatnya akdar melek huruf,
berpendidikan, makmur, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kelas menengah. Oleh
sebab itu, bagian masyarakat yang partisipan di bidang politik menjadi lebih
banyak.
@ Kedua,
pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan ketegangan dan tekanan antar kelompok
sosial; kelompok-kelompok yang barn bermunculan; kelompok-kelompok yang sudah
mapan mulai terancam, dan kelompok-kelompok yang lebih rendah menggunakan
kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka. Sebagai akibatnya, meningkatlah
konflik antar kelas sosial, daerah, sedang kelompok-kelompok komunal dan
konflik sosial meningkat secara tajam, dan dalam beberapa kasus, boleh
dikatkaan menciptakan kesadaran kelompok, yang belakangan melahirkan tindakan
kolektif oleh satu kelompok untuk mengembangkan dan melindungi
usaha
mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka anggap perlu dicapai, seperti
kemerdekaan nasional atau pemerataan sosio-ekonomi. Akan tetapi mereka yang
memiliki kekuasaan politik, akan lebih cenderung untuk memperkuat kekuasaan
mereka sendiri dan memajukan kestabilan politik dengan jalan membatasi
partisipasi politik daripada memperluasnya. Sebaliknya, usaha mengejar
tujuan-tujuan seperti pembangunan ekonomi, pemerataan sosio-ekonomi, dan
malahan kestabilan politik dapat menimbulkan kondisi-kondisi yang memudah kan
perluasan partisipasi politik. Demikian pula, cara-cara yang dipilih oleh kaum
elit politik dan pemerintahan untuk melaksanakan program-program pemerintah
mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi tingkat dan sifat partisipasi
politik.
Pembangunan mampu memberikan dorongan terhadap peningkatan
partisipasi politik. Pada tingkat yang lugs, memang terlihat adanya korelasi
antar kedua faktor dimaksud. Huntington dan Nelson (1994:60-61) menguraikan
secara singkat bagaimana hubungan itu terjadi.
@ Pertama,
di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi
dengan status sosio-ekonomi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi,
berpenghasilan
Sedangkan
yang dimaksud dengan proses administratif atau output adalah proses di mana
kebijakan otoritatif itu diterapkan atau diperkuat. Struktur-struktur yang
berperan aktif dalam proses ini adalah birokrasi dan lembaga peradilan.
Dari
penjelasan di atas, secara sederhana objek-objek politik dapat digolongkan
dalam empat objek, yaitu:
1. Sistem sebagai objek umum.
2. Objek-objek input.
3. objek-objek output dan
4. Pribadi
sebagai objek.
Bila
dikombinasikan dengan aspek-aspek orientasi politik yang terdiri atas kognisi,
afeksi dan evaluasi maka dimensi politik dapat dibuat dalam bentuk matrik
seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Dimensi Orientasi Politik
1
sistem sebagai objek umum
|
2
objek-objek input
|
3
objek-objek output
|
4
pribadi sebagai objek
|
Kognisi
Afeksi
Evaluasi
|
|
|
|
Dengan
menggunakan matrik ini kita akan dapat mengetahui dan menilai oreintasi politik
seseorang secara sistematis melalui beberapa pertanyaan, misalnya sebagai
berikut:
※
Pengetahuan apa yang dimiliki seseorang atau masyarakat
tentang negara dan sistem politiknya dalam pengertian umum, seperti sejarah,
ukuran lokasi, kekuasaan, sifat-sifat konstitusionalnya, dna lain-lain?
Bagaimana perasaannya terhadap karakteristik sistemik ini? Dan bagaimana pula
pendapatnya tentang kelebihan atau kekurangan serta penilaiannya terhadap
karakteristik yang sistemik ini.
※
Bagaimana pemahaman seseorang tentang struktur dan peranan
kaum elite politik dan pengajuan-pengajuan kebjiaksanaan yang diperkenalkan ke
dalam arus pembuatan kebijaksanaan yang bersifat "upward"? Bagaimana
perasaan dan pendapatnya tentang semua struktur, para pemimpin dan semua usaha
kebijaksanaan ini?
※
Bagaimana
pemahaman yang dimiliki tentang arus pengokohan kebijakan yang "dowonward",
struktur-
Di dalam
proses pembangunan secara keseluruhan, perluasan partisipasi politik dapat
dipahami sebagai berikut: (a) satu tujuan utama kaum elit politik,
kekuatan-kekuatan sosial dan perorangan-perorangan yang terlibat di dalam
proses itu; (b) sebagai sarana kaum elit, kelompokkelompok, dan
perorangan-perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka nilai
tinggi; atau (c) sebagai hasil sampingan atau konsekuensi tercapainya
tujuan-tujuan lain, baik oleh masyarakat secara keseluruhan oleh kaum elit,
kelompok-kelompok, dan peroranganperorangan di dalam masyarakat (Huntington dan
Nelson, 1994:56)
Seperti telah kami kemukakan, perluasan partisipasi politik
jarang merupakan satu tujuan utama bagi kaum elit politik di dalam masyarakat yang
sedang berkembang. Kalaupun partisipasi politik memang bertambah, maka tingkat
perluasan itu sebagian besar mencerminkan sejauh mans partisipasi itu merupakan
sarana untuk mecnapai tujuantujuan lain atau merupakan hasil sampingan sebagia
akibat tercapainya tujuan-tujuan lain itu. Pemimpin-pemimpin politik akan
berusaha untuk memperluas partisipasi politik apabila mereka menggagap
perluasan itu sebagai cars untuk memperkuat atau mempertahankan kekuasaan
mereka dan untuk membina usaha-
E. Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangunan Indonesia
Partisipasi politik dinilai secara berbeda-beds di dalam
masyarakat yang berbeda. Di mans hal itu dianggap sebagai tujuan yang perlu
dicapai. Perluasan partisipasi politik melibatkan biaya dan konsepsi ditinjau
dari segi tujuan-tujuan lain, serta biaya-biaya dan konsepsikonsepsi itu berada
di antara masyarakat-masyarakat yang berlainan pada tingkat yang berlainan dari
modernisasi atau pembangunan secara keseluruhan. Pokok persoalan yang penting
adalah bahwa peranan partisipasi politik di dalam masyarakat merupakan satu
fungsi dari prioritas-prioritas yang diberikan keapda variabel dan
tujuan-tujuan lain dan dari strategi pembangunan secara keseluruhan.
Pembangunan
yang dimaksud di sini adalah sebagai proses modernisasi atau proses pembinaan
bangsa (nation building) di segala bidang, baik ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan maupun mental. Dalam hal ini terkandung satu
pengertian bahwa pemberian prioritas pertama kepada pembangunan ekonomi seperti
sekarang ini hanyalah merupakan suatu strategi menujun ke arah itu. Sukses
dalam pembangunan ekonomi diharapkan akan melimpah ke bidang-bidang yang lain
sehingga merangsang mereka untuk berkembang pula.
struktur,
keputusankeputusan yang dilibatkan dalam seluruh rangkaian proses ini?
Bagaimana pula perasaan dan pendapatnya terhadap hal-hal itu?
※
Bagaimana perasaan pribadinya sebagai anggota sistem politik
tersebut? Bagaimana pemahamannya tentang hak, kewajiban dan strateginya untuk
dapat memasuki kelompok orang-orang yang berpengaruh? Bagaimana penilaiannya
terhadap kemampuan norma-norma partisipasi atau kriteria siapa yang diketahui
dan dipergunakannya dalam membuat penilaian politik, atau dalam menyampaikan
pendapatnya?
Dengan
melihat komponen-komponen individu dan sistem politik sebagaimana tertera dalam
tabel, maka Almond dan Verbs mendefinisikan budaya politik sebagai distribusi
pola-pola orientasi khusus individu terhadap objek-objek politik diantara masyarakat
bangsa.
Budaya
politik suatu masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai ynag ada
dalam masyarakat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat
dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai. Interaksi yang demikian
memngkinkan timbuinya kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses ini
kita kenal dengan "sosialisasi
politik yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat mengalami, menyerap
dan menghayati nilai-nilai politik yang ada di sekitarnya. Jadi antara budaya
politik dan sosialisasi politik bersifat sating mempengaruhi. Pertumbuhan dan
perkembangan budaya politik merupakan output sosialsiasi politik dan dapat pula
berfungsi sebagai input proses sosialisasi politik.
berpengaruh terhadap partisipasi politik seseorang dalam
politik.
Alasan ketiga, menyangkut sifat dan sisetm politik dan partai
tempat seseorang itu berada. Seseorang yang hidup dalam negara-negara
demokratis, partai-partai politik cenderung mencari dukungan massa dan
memperjuangkan kepentingan massa. Karena itu massa cenderung berpartisipasi
dalam politik.
Dalam konteks Indonesia, Arbi Sanit menyebutkan 5 faktor yang
mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia.
Ø Pertama,
adanya kebebasan berkompetisi di segala bidang, termasuk di bidang politik.
Ø Kedua,
adanya kenyataan berpolitik secara lugs dan terbuka.
Ø Ketiga,
adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi masyarakat
dan partai politik dapat tumbuh dengan subur.
Ø Keempat,
adanya penyebaran sumber days politik dalam masyarakat yang berupa kekayaan
dalam masyarakat.
Ø Kelima,
adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu
perimbangan kekuatan.
« Adanya
keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan.
Meluasnya
ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan
yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan
politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam
segala bidang kehidupan. Milbrath memberikan 4 alasan bervariasinya partisipasi
politik seseorang.
Alasan pertama, berkenaan dengan penerimaan perangsang
politik. Keterbukaan dan kepekaan seesorang terhadap perangsang politik melalui
kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan
pengaruh bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik. Meskipun demikian
dalam menanggapi perangsang-perangsang politik itu tentu dipengaruhi oleh
pengetahuan, sikap, nilai-nilai, pengalaman dan kepribadian yang dimiliki
seseorang.
Alasan kedua,
berkenaan karakteristik sosial seseorang. Status sosial ekonomi, karakteristik
suku, jenis kelamin, usia keyakinan agama merupakan karakteristik sosial yang
BAGIAN III
TIPE-TIPE
BUDAYA POLITIK
Seperti
dikatakan oleh Almond dan Verba, bahwa budaya politik adalah "distribusi
pola-pola orientasi khusus individu terhadap objek-objek politik diantara
masyarakat bangsa". Berdasarkan definisi ini, maka tipe budaya politik
suatu masyarakat atau bangsa akan dapat terlihat setelah terlebih dahulu
dilakukan survei terhadap individu-individu anggota masyarakat atau bangsa itu.
Dengan kata lain, definisi ini dapat digunakan untuk mengukur dan menilai
budaya politik suatu masyarakat atau bangsa menurut tipe-tipe budaya politik
tertentu.
Jadi
budaya politik dalam suatu masyarakat atau bangsa dapat diketahui melalui
tipe-tipe budaya politik yang ada. Dengan kata lain, melalui pengukuran
terhadap sejumah sampel atau responder dari masyarakat atau bangsa itu, tipe-tipe
budaya politik itu terlihat dari karakteristiknya, yaitu frekuensi (tingkat
kognisi atau afeksi atau evaluasi terhadap objek-objek politik dari sejumlah
sampel atau anggota masyarakat) pada tipe-tipe sel sesuai dengan aspek dan
objek politik dalam matrik pada kegiatan belajar yang pertama.
Apa saja
tipe-tipe budaya politik yang dimaksud dan bagaimana pula karakteristiknya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dari tabel terlihat bahwa berdasarkan
frekuensi atau tingkat orientasi politik anggota masyarakat, dalam hal ini
tingkat kognisi, afeksi dan evaluasinya terhadap objek-objek politik, terdapat
tiga tipe budaya politik, yaitu parokial, subjek dan partisipan.
Tabel Tipe-Tipe
Budaya Politik
|
1
sistem
sebagai objek umum
|
2
objek-objek input
|
3
objek-objek output
|
4
pribadi sebagai objek
|
Kognisi
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Afeksi
|
1
|
0
|
1
|
0
|
Evaluasi
|
1
|
1
|
1
|
1
|
A. Budaya
Politik Parokial
Budaya
politik parokial ditunjukkan oleh frekuensi terhadap keempat jenis objek
politik yang mendekati nol. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik
demikian adalah masyarakat suku-
terutama
di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik. Mereka ini misainya
kaum buruh, para, pedagang dan pars profesional.
«
Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam
hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas
dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi
tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah.
«
Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide
nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas
mempermudah.
« Adanya
konflik di antara pemimpin-pemimpin politik.
Pemimpin
politik yang sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai
kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini
seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.
Ada yang
menyoroti faktor-faktor dari dalam diri seseorang, ada yang menyoroti
faktor-faktor dari luar dan ada yang menggabungkannya. Berbagai pendapat
tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
Surbakti menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, adalah aspek
kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewahiban
sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat
perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban
seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan
kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasinya
terhadap pemerintah, balk terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan
pelaksanaan pemerintahannya.
Weimar (Sastroadmodjo, 1995) menyebutkan paling tidak ada 5
faktor yang mempengaruhi partisipasi politik.
Modernisasi.
Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi
pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat
pendidikan, meluasnya peran media massa dan media komunikasi. Kemajuan itu
berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara,
suku di Afrika
atau komunitas-komunitas lokal yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika
atau di benua lain di dunia.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik parokial
diantaranya sebagai berikut:
@ Tidak
adanya peran-peran politik yang bersifat khusus.
Kepala
suku, kepala kampung atau dukun merupakan pemencar peran-peran yang bersifat
politik, ekonomi dan keagamaan. Orientasi anggota-anggota masyarakat terhadap
peran-peran ini juga tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka.
@ Orientasi
parokial juga memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap perubahan-perubahan
yang berarti yang diinisiatifkan oleh sistem politik. Kaum parokial tidak
mengharapkan spa pun dari sistem politik.
Secara relatif parokialisme (budaya politik parokial) yang
murni terdapat pada masyarakat yang memiliki sistem tradisional yang lebih
sederhana dengan tingkat spesialisasi politik yang sangat minim. Namun demikian
pada masyarakat yang lebih besar juga masih tetap memiliki budaya politik
parokial. Parokialisme dalam sistem politik yang deferensiatif (masyarakat yang
besar) lebih bersifat afektif dan normative daripada kognitif. Contohnya adalah
suku-suku bangsa di Nigeria dan Ghana. Bisa saja mereka mengetahui akan
suramnya rezim politik central, tetapi perasaannya terhadap hal tersebut
bersifat negatif dan mereka tdiak membakukan berbagai norms untuk mengatur
hubungan dengan hal-hal tersebut.
B. Budaya Politik Subjek
Dalam budaya politik subjek terdapat frekuensi orientasi yang
tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan objek-objek output dari
sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap objek-objek input dan pribadi
sebagai partisipan yang aktif (aktor politik) mendekati nol.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik subjek
diantaranya adalah:
@ Para
subjek (anggota masyarakat yang memiliki budaya subjek) menyadari adanya
otoritas pemerintah (sistem politik), mereka secara efektif diarahkan terhadap
otoritas tersebut, mereka juga mungkin merasa bangga terhadap sistem itu atau
sebaliknya tidak menyukainya, dan mereka menilainya absah atau sebaliknya.
@ Hubungan
pars subjek dengan sistem secara umum dan terhadap output, administrative atau "downward
flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari sistem politik
※
perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem
politik misalnya melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta.
Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan
pemerintah. Untuk kepentingan pemerintah, partisipasi politik memiliki tugas:
※
Untuk mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti
bahwa peran serta masyarakat diwujdukan untuk mendukung program politik dan
program pemerintahan.
※
Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat
untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
※
Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik
terhadap
pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program‑program
pembangunan.
D. Faktor-faktor Yang Berpengaruh
Partisipasi
politik, sebagai suatu aktivitas, tentu banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Banyak pendapat yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhbi
partisipasi politik.
C. Fungsi Partisipasi Politik
Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, baik secara individual
maupun kelompok, partisipasi politik memiliki beberapa fungsi. Robert Lane
(Rush dan Althof, 1990: 181-182) dalam studinya tentang keterlibatan politik,
menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu, yakni:
1. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis;
2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi
penyesuaian sosial;
3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus;
4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar
dan kebutuhan psikologis tertentu.
Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang
ada tiga fungsi partisipasi politik, yaitu:
※
Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang
dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.
※
Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan
pemerintah.
Sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian
diharapkan terjadi
itu
secara esensial merupakan hubungan yang pasif, walaupun mereka memiliki bentuk
kompetensi (kemampuan) secara terbatas.
Orientasi subjek yang murni terdapat pada masyarakat yang
tidak memiliki struktur input yang dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam
sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih
bersifat afektif dan normative daripada kognitif. Contoh dari tipe orientasi
ini adalah golongan bangsawan Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya
institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan
pada mereka.
C. Budaya Politik Partisipan
Tipe budaya politik partisipan adalah satu bentuk budaya yang
anggota-anggota masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap
sistem secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif
(objek-objek input dan output). Demikian pula anggota-anggota
pemerintah yang partisipatif secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan
kepada berbagai objek politik yang serba ragam. Mereka cenderung diarahkan
kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, meskipun perasaan dan penilaian
mereka terhadap peranan yang demikian bisa menerima atau justru menolaknya.
Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh anggota masyarakat atau
warga negara yang memiliki pengetahuan dan kesadaran politik, perhatian dan
kepedulian terhadap keseluruhan objek-objek politik yang sangat tinggi.
Meskipun mereka sendiri bisa saja bersikap positif atau negatif terhadap
objek-objek politik tersebut. Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe
budaya politik partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah Inggris dan
Amerika Serikat.
Tipe budaya politik partisipan secara umum tidak akan
menanggalkan tipe-tipe terdahulu yaitu parokial dan subjek, karena
ketidaksamaan kondisi di masing-masing masyarakat atau negara.
Ketidaksempurnaan proses-proses sosialisasi politik, pembatasan dalam
pendidikan atau kesempatan untuk belajar yang menyebabkan tipe budaya politik
parokial dan subjek akan terns ada. Bahkan di negara demokrasi yang sudah
terhitung mapan dan stabil. Begitu pula dengan kebudayaan parokial akan tetap
bertahan walaupun dalam kebudayaan subyek yang tinggi.
Bila
dianalisa lebih jauh, budaya-budaya politik itu dapat disejajarkan dengan
struktur-struktur sistem politik atau sebaliknya. Keharmonisan akan tercipta
bilamana struktur politik yang ada di suatu negara sesuai dengan kebudayaan
politiknya.
2. Partisipasi kolektif, yakni kegiatan politik yang
dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi penguasa.
Partisipasi
kolektif individu dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
※
Partisipasi kolektif yang konvensional, seperti pemberian
suara (voting), diskusi politik,
kegiatan kampanye, dan membentuk organisasi.
※
Partisipasi politik non-konvensional, seperti pengajuan petisi,
demonstrasi, konfrontasi, pemogokan, tindakan kekerasan, pemberontakan dan
revolusi untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa.
Dilihat dari motivasi yang melatarbelakangi munculnya
partisipasi politik, maka Huntington dan Nelson (1994, hal 9-13) membagi
partisipasi politik dalam dua kategori, yaitu:
Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong
oleh keinginan pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi politik yang
digerakkan atau diinginkan oleh orang lain, bukan karena kesadaran atau
keinginan pelakunya sendiri.
Gambar
2. Bentuk Partisipasi Politik secara Hirarkhis
Sumber:
Rush dan Althoff, Sosiologi Politik, hal. 124.
Bila dilihat dari jumlah pelaku, sosiologi politik,
partisipasi politik dapat dibedakan menjadi:
1. Partisipasi individual, yaitu partisipasi yang dilakukan
oleh orang per orang secara individual, misainya menulis surat yang berisi
tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
Pada umumnya budaya parokial, subjek dan partisipan hampir
sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otorian yang
sentralistis dan struktur politik demokratis. Secara visual kesejajaran itu
dapat diskemakan seperti berikut:
Budaya Paroksial ―――ô€€—
Struktur Politik Tradisional
Budaya Subjek ―――ô€€—
Struktur Politik Otoritarian Sentralistis
Budaya Partisipan ―――ô€€—
Struktur Politik Demokratis
Dari skema di atas, tampak bahwa budaya politik parokial
sejajar dengan struktur politik tradisional. Struktur politik tradisional ini
banyak terdapat, misalnya pada struktur komunitas di desa atau suku yang
terpencil. Bila ditafsirkan sebaliknya, maka dapat diartikan bahwa struktur
politik tradisional sangat cocok diterapkan pada masyarakat yang memiliki
budaya politik parokial. Struktur politik yang otoritarian sentralistis hanya
cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang memiliki budaya politik
subjek. Dan struktur politik yang demokratis sangat cocok diterapkan pada
masyarakat atau bangsa yang telah memasuki taraf budaya politik partisipan.
Jika struktur politik diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang tidak sesuai
budaya politiknya, maka bisa jadi akan timbul ketidakharmonisan.
Ketidakharmonisan itu bisa dalam bentuk tidak berjalannya
atau tidak berfungsinya sistem politik atau bahkan timbul kekacauan politik
pada masyarakat atau bangsa itu.
Ketiga macam tipe budaya politik seperti yang tercantum dalam
tabel di atas merupakan tipe-tipe budaya politik yang bersifat murni. Kombinasi
antara tipe-tipe budaya politik tersebut di atas dapat membentuk tipe-tipe
budaya politik campuran. Secara konseptual ada tiga bentuk budaya politik
campuran, yaitu: budaya subjek parokial, budaya subjek partisipan, dan budaya
parokial – partisipan.
@ Budaya
Subjek – Parokial
Ini
adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak
tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas
feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.
Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya
parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang
sentralistis). Sejumlah bangsa di belahan dunia mengalami peristiwa ini.
Bentuk-bentuk klasik kerajaan merupakan
maksud
mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil.
@ Kegiatan
organisasi, menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai anggota atau pejabat suatu
organisasi yang tujuan utamanya mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
@ Mencari
koneksi (contacting), yaitu tindakan perorangan yang ditujukan tehadap pejabat-pejabat
pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang
atau beberapa orang. Oleh Verba, Nie dan Kim partisipasi ini disebut 11 mencari
koneksi khusus" (particularized
contacting).
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang lebih lengkap
dikemukakan oleh Rush dan Althoff. Keduanya memvisualisasikan bentuk-bentuk
partisipasi politik secara hirarkhis, seperti terlihat di bawah ini.
※
Aktivis politik
※
Warga negara marginal, yaitu orang yang sedikit melakukan
kontak dengan sistem politik;
※
Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang
melakukan kontak dengan sistem politik.
Merangkum berbagai bentuk partisipasi politik, Huntington dan
Nelson (1994, hal. 16-17) mengklasifikasi partisipasi politik dalam 4 bentuk.
Menurutnya dari berbagai studi mengenai partisipasi politik menggunakan
berbagai klasifikasi yang berbeda-beda. Namun riset yang kebanyakan dilakukan
sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam 4 jenis, yaitu:
@ Kegiatan
pemilihan yang mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye,
bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencaru dukungan bagi seorang calon, atau
setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
Lobbying
yang mencakup upaya-upaya, balk perorang maupun kelompok,
untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atua pimpinan-pimpinan politik
dengan
contoh
budaya ini, seperti kerajaan-kerajaan di Afrika, Rusia (Jerman) dan The Ottoman Empire (Kekaisaran Turki).
@ Budaya
Subjek – Partisipan
Budaya politik campuran ini merupakan peralihan atau
perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya
partisipan (demokratis). Cara-cars yang berlangsung dalam proses peralihan dari
budaya parokial dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis.
Gejala ini terjadi pada politik Inggris. Kekuasaan-kekuasaan lokal, lembaga
atau unit pemerintah kota praja, komunitas religius, dan kelompok-kelompok
pedagang mendukung proses perkembangan demokrasi di Inggris.
Dalam budaya subjek – partisipan yang bersifat campuran itu
sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang
bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis,
sementara itu penduduk lainnya terns diorientasikan ke arah suatu struktur
pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang
pasif. Secara mudah dapat dikatakan, pada masyarakat ini ada kelompok yang
berorientasi pada pemerintahan otoritarian. Pada masyarakat yang berorientasi
partisipan (demokrat) tidak dapat menjadi pranata sosial yang mandiri dan
berwibawa, karena dihadang oleh kemampuan budaya subjek (otoritarian). Lagi
pula dalam budaya subjek partisipan terdapat ketidakstabilan pemerintahan yaitu
tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan yang cenderung
menghasilkan keterasingan diantara penduduk yang berorientasi demokratik.
Jika budaya campuran ini berlangsung lama, akan mengubah
karakter sub budaya subjek, karena terjadi persaingan antara kelompok-kelompok
yang berorientasi otoritarian. Walaupun tidak mengubah seluruhnya sub budaya
subjek menuju budaya demokratis, namun akan melahirkan perubahan sehingga
membentuk pemerintahan yang berlainan dari sebelumnya. Contoh negara yang
memiliki tipe budaya ini adalah Perancis, Jerman dan Italia pada abad ke-19 dan
saat ini.
@
Budaya Parokial — Partisipan
Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang
yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada
umumnya budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norms
struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi
keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan.
Sementara itu dilihat dari kadar dan jenis aktivitasnya,
Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik dalam beberapa kategori,
yaitu:
1. Apatis (masa bodoh), yaitu orang yang menarik diri dari
aktivitas politik;
2. Spektator, yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah
ikut dalam pemilihan umum;
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat
dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan
kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat;
4. Pengeritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam
bentuk yang tidak konvensional.
Klasifikasi partisipasi politik yang hampir sama dikemukakan
oleh Goel dan Oslan. Mereka melihat partisipasi politik dari segi stratifikasi
sosial. Dari sudut pandang ini, partisipasi politik dikategorikan dalam
beberapa hal, yakni:
※
Pemimpin politik
※
Komunikator,
yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ideide, sikap dan informasi politik
kepada orang lain;
(biasa). Batasan ini sesuai dengan pendapat Mochtar Mas'oed
dan Collin Mac Andrews (1994:42) serta Rush Althoff (1990, hal 124) yang
memasukkan mereka yang menduduki jabatan pemerintahan, politis dan administrasi
termasuk mereka yang memberi jabatan pemerintahan, politis dan adminstrasi
termasuk mereka yang memberi jabatan tersebut atau pars calon pejabat
pemerintahan dan calon politikus.
B. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang. Dilihat sebagia suatu suatu kegiatan partisipasi politik dapat
dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif
mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum,
mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,
mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar
pajak dan ikut dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi
pasif berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan
begitu saja setiap keputusan pemerintah (Sastroatmodjo; 1995).
Persoalan
yang muncul adalah seringkali terjadi ketimpangan antara struktur yang
menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih bersifat
parokial. Oleh karena itu, satu hal yang harus ditanggulangi adalah upaya
mengembangkan input dan output secara perlahan-lahan. Sehingga tidak
mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil yang suatu ketika ke
arah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi. Birokrasi tidak bisa
menjembatani masyarakat, sedangkan infrastruktur tidak mengakar dengan kuat di
masyarakat.
BAGIAN IV
PARTISIPASI
POLITIK
Partisipasi
politik adalah bagian penting dalam kehidupan suatu negara. Terutama bagi
negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik
merupakan salah satu indikator penting. Artinya suatu negara barn bisa disebut
sebagai negara demokrasi, jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat
partispasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak, maka kadar kedemorkatisan
negara tersebut masih diragukan.
Masalah
partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan
negara, melainkan lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu
negara dan pengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik
menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, di samping juga menjadi kajian
ilmu politik. Dan dalam modul ini, partisipasi politik menjadi topik inti yang
harus Anda pelajari dengan sungguh-sungguh.
※
Kelima, partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan
partisipasi dimobilisasikan. Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang
oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemernitah.
Sedangkan
partisipasi yang dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan karena
keinginan oran glain.
Demikian batasan partisipasi politik yang dikemukakan oleh
Huntington dan Nelson. Batasan yang lebih luas mengenai partisipasi politik
dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. la memandang partisipasi politik sebagai
kegiatan seeorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan
politik, misalnya dalam pemilihan pemimpin negara, mempengaruhi kebijaksanaan
negara dan berbagai kegiatan lainnya.
Batasan
yang dikemukakan oleh Miriam tersebut tidak memperlihatkan batsan yang begitu
ketat. Sehingga memungkinkan untuk memberikan cakupan partisipasi yang lebih
luas daripada yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Demikian pula
menenai subjek yang berpartisipasi (partisipan) tidka dibatasi hanya pada warga
negara preman
※
Ketiga, kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu
hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah dan ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah yang mempunyai
wewenang politik. Sasarannya adalah untuk mengubah keputusan-keputusan
pejabat-pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau mempertahankan pejabat‑pejabat
itu, merubah atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan
aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan itulah yang menjadi batasan
partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak. Karena itu aktivitas
seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan, bahkan
pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemeirntah merupakan
bentuk-bentuk partisipasi politik.
※
Keempat,
partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi
pemerintah, terlepas apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil
atau gagal.
Dalam
uraian materi ini, Anda akan mempelajari beberapa hal penting dari partisipasi
politik, yaitu pengertian partisipasi politik, bentuk‑bentuk partisipasi
politik, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi politik, dan
partisipasi politik dalam konteks pembangunan Indonesia.
A. Pengertian
Partisipasi
berasal dari bahasa Latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere (sipasi), yang artinya mengambil.
Bila digabungkan berarti "mengambil bagian". Dalam bahasa Inggris,
participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan.
Jadi partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam
aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.
Huntington
dan Nelson (1995:6), mendefinisikan partisipasi politik sebagai "kegiatan
warga negara preman (private citizen)
yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah". Dari
pengertian tersebut Huntington dan Nelson memberi batsan partisipasi politik
pada beberapa hal:
※
Pertama, partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan
bukan sikap-sikap. Dalam hal ini komponen-komponen subjektif seperti
orientasi-orientasi politik yang meliputi
※
pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik,
perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan keefektifan politik, dan
persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak dimasukkan. Hal-hal seperti
sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari tindakan politik.
※
Kedua, subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah
warga negara, preman (private citizen)
atau lebih tepatnya, orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara
biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat
pemerintah, pejabat-pejabat partai, talon-talon politikus, lobbi profesional.
Kegiatan yang disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya
sebagai sambilan atau sebagai pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan
peranan-peranan sosial lainnya.